Menilik MK dan Berkas Lamanya
Home » Fokus Menilik MK dan Berkas Lamanya …

Menilik MK dan Berkas Lamanya

ILUSTRASI: RILIS.ID/Hafidz Faza

Top fokus
Populer
- Tokoh Golkar Lampung Minta Airlangga Cabut Dukungan Arinal Jadi Cagub
- Isu Bersih-bersih Loyalis Setya Novanto, Ini Kata Airlangga Hartarto
- Media Internasional dan Israel Soroti Aksi Bela Palestina
- Pelayar asal Prancis Sukses Pecahkan Rekor Keliling Dunia Seorang Diri
- DPP Cabut Rekomendasi Ridwan Kamil, Dedi Belum Yakin Ditunjuk
- Berulang-ulang, Kekerasan pada Buruh Migran Masih Terjadi
- Airlangga dalam Kepungan Status Quo
"Jangan hanya menganggap keadilan harus ditegakkan meski langit runtuh, tapi yakinlah menegakkan keadilan akan membuat langit makin kokoh.&quo t; Jimly Asshiddiqie (Majalah BMK. 2004).
MENJADI seorang hakim, pekerjaan mulia. Sampai-sampai diibaratkan sebagai wakil Tuhan. Profesi mengandalkan hati nurani ini, tak sembarang digeluti banyak insan. Terlebih menyoal aturan konstitusi.
Baca Juga:- Komisi III Soroti "Dualisme" Posisi Hakim
- MK Punya Cerita
- Ocehan Butuh Pembuktian
Indonesia memiliki lembaga yang menangani ketentuan dan aturan ketatanegaraan. Diberi nama Mahkamah Konstitusi, lebih dikenal MK. Ide ini diawali dengan mengadopsi konsep constitutional court.
Pada 2001, MPR mengamandemen ketiga Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pokok bahasan mengenai MK tertuang dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B. Lalu, 16 Agustus 2003, jajaran hakim konstitusi era pertama dilantik Presiden.
Periode awal diketuai Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie terhitung 22 Agustus 2003 - 3 Maret 2009. Selanjutnya, Prof. Dr. Mohammad Mahfud M .D yang mengemban amanat mulai 1 April 2009 - 2013.
Setelah itu, citra MK runyam. Ketua MK yang saat itu dipimpin Dr. Akil Mochtar, diduga telah menyelewengkan "wejangan" negara. Padahal, baru dilantik 5 April 2013, tapi ia diberhentikan pada Oktober 2013.
(Pengambilan sumpah jabatan Akil Mochtar. FOTO: Antara)
Kepentingan Para Hakim Konstitusi
Seorang hakim MK seharusnya memiliki idealisme yang kuat. Karena, untuk menduduki jabatan tersebut, syaratnya sangat berat. Bukan semata-mata gelar doktor atau profesor. Tapi negarawan. Pun diatur rigid UUD 1945.
Akil ketika itu terbentur "kepentingan". Lembaga antirasuah, dikepalai Abraham Samad menangkap basah Akil tengah melakukan transaksi dengan pihak bersengketa. Terkait Pilkada Gunung Mas pada Oktober 2013.
Penyelidikan berkembang. Ternyata dugaan k asus korupsi sang empu konstitusi ini sudah menggurita. Di antaranya, Kabupaten Lebak, Empat Lawang, dan Pulau Morotai, Tapanuli Tengah, dan Kota Palembang. Akil "menang banyak".
"Saya korupsi apa di sini? Kalau suap jelas memang ada, tapi kalau korupsi tidak ada! Semua dianggap hasil korupsi!" kata Akil dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (9/6/2014).
Akil didakwa menerima "hadiah" untuk pengurusan 15 sengketa pilkada. Total jumlah uang yang diterima sebesar Rp47,7 miliar plus 500 ribu dollar AS sejak 2010 hingga menjabat ketua MK. Ia divonis penjara seumur hidup.
Tiga tahun kemudian, muncul kasus baru. Tampaknya, bukan hanya Akil yang tak kuat dengan "glamor" jabatan hakim tinggi konstitusi. Patrialis Akbar menjadi "korban" kedua. Diduga menerima suap dari seorang pengusaha.
Dalam operasi tangkap tangan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita uang yang ditermia Patrialis Akba r sejumlah 20 ribu dollar AS dan 200 ribu dollar Singapura, setara dengan Rp2,15 miliar pada Januari 2017.
(Patrialis Akbar ketika masih aktif sebagai hakim MK. FOTO: Tribunnews)
Patrialis Akbar terpengaruh "iming-iming". Gantinya, ia harus memenangkan putusan perkara UU No. 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Benarkah istilah "Hukum Bisa Dibeli" sekarang ini?
"Saya menunggu di akhirat permintaan maaf mereka (KPK)," kata Patrialis saat membacakan pleidoi di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin (21/8/2017).
Pada Agustus 2017, sampailah vonis delapan tahun penjara melekat pada diri sang hakim konstitusi tersebut. Sama dengan Akil, sekarang Patrialis melanjutkan hidup di balik jeruji besi.
Baru-baru ini, di penghujung 2017, MK kembali menjadi sorotan banyak orang. Lagi-lagi "manuver" yang dite nggarai sang ketua. Pimpinan MK, Prof. Dr. Arief Hidayat diduga melanggar etika karena bersilaturahmi ke Komisi III DPR RI.
Pertemuan tersebut berlangsung di Hotel Ayana Midplaza Jakarta. Menurut Wakil Ketua Komisi III, Desmond J Mahesa, ada barter perpanjangan masa jabatan Arief Hidayat dengan putusan MK terkait hak angket KPK.
"Lobi-lobi dengan alasan dia (Arief) ingin diperpanjang. Argumentasinya kalau dia enggak terpilih nanti yang gantikan Saldi Isra. Saldi Isra itu dianggap pro KPK," kata Desmond pada Senin (27/11/2017).
Benarkah demikian? Sejauh ini Dewan Etik tengah bekerja mencari kebenaran ocehan itu. Namun, jika "iya", Arief sangat lincah berpolitik. Atau, apa karena dia hakim yang diusung DPR? Notabennya, sarat akan siasat.
(Ketua MK, Arief Hidayat ketika melangsungkan uji kepatutan dan kelayakan di DPR. FOTO: RILIS.ID/Indra K usuma)
Putusan-putusan Kontroversial
Pada 28 April 2015, MK mengabulkan permohonan terkait uji materiil pasal 77 huruf (a) KUHAP yang memperluas objek praperadilan. Ada tambahan menjadi 3 perkara, yakni penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Sebagian pakar pidana berpendapat, putusan ini melemahkan peran penuntut umum. Akhirnya menimbulkan kesewenang-wenangan penyidik dan berlarut-larutnya penanganan kasus.
Pada 8 Juli 2015, MK mengabulkan gugatan terhadap pasal 7 huruf r UU Pilkada yang membatasi munculnya politik dinasti. Perludem, saat itu menyayangkan putusan tersebut karena menyampingkan kompetensi calon.
Kemudian, pada 10 Juli 2015, MK menganulir larangan bagi mantan narapidana ikut dalam kontestasi pilkada. Pasal 7 huruf g UU No. 8 Tahun 2015 (UU Pilkada) dinilai ikonstitusional.
Lalu, 12 Mei 2016, MK lewat uji materiil Pasal 263 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidan a (KUHAP) menyatakan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) tak bisa mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK).
Pakar Hukum Pidana Trisakti, Abdul Fickar Hadjar lewat postingan di situs Kompasiana, menilai putusan tersebut justru membawa "angin segar" bagi para pelaku kejahatan, khususnya untuk tindak pidana korupsi.
"Menjadi tidak konsisten MK membatasi tafsir Pasal 263 ayat (1) KUHAP dengan membatasi JPU mengajukan PK. Padahal dua pihak ini (terdakwa dan JPU) sama-sama mencari kebenaran materiil dan keadilan," kata dia.
(Proses persidangan di MK. FOTO: Humas MK)
Selain itu, Agustus 2016, MK juga "memberi izin" mantan terpidana korupsi mengikuti Pilkada di Aceh. Ini adalah permohonan Abdullah Puteh terhadap Pasal 67 ayat (2) huruf g UU No 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
Kemudian, MK juga mengabulkan seluruh gugatan uji materiil terkait penafsiran "pemufakatan jahat" yang diajukan Mantan Ketua DPR RI Setya Novanto pada 7 September 2016.
Putusan tersebut mempengaruhi kelanjutan dugaan kasus "Papah Minta Saham". Akibatnya, sampai sekarang kasus itu mangkrak di Kejakasaan Agung.
Pada 27 Januari 2017, MK menegaskan aparat penegak hukum harus membuktikan adanya kerugian negara sebelum dilakukan penyelidikan perkara korupsi. Kata "dapat" Pasal 2 ayat (1) dan 3 UU Tipikor dinyatakan inkonstitusional.
Putusan ini akan mengerogoti upaya penyidikan perkara korupsi yang dilakukan penegak hukum. Karena, syarat menggunakan pasal tersebut menjadi sangat ketat. Akan banyak perkara tertunda, termasuk korupsi.
Kemarin, pada 7 November 2017, MK membatalkan sejumlah pasal di UU Adminduk terkait pengosongan kolom agama. Putusan ini mengejutkan banyak pihak. Khususnya para tokoh agama. Ada kesepakatan "lawas" tak jadi pertimbangan.
Baca juga:
Menilik MK dan Berkas Lamanya (bagian 1)
Ketika "Negarawan" Tersandra Kepentingan (bagian 2)
Menanti Putusan Dewan Etik (bagian 3)
Ocehan Butuh Pembuktian (bagian 4)
MK Punya Cerita (bagian 5)
Penulis Afid Baroroh
Editor Andi Mohammad Ikhbal
MKArief HidayatKomisi IIIDesmond
Sumber: Google News | Warta 24 Pulau Morotai
Tidak ada komentar