Tentang Dugaan Penyiksaan Warga Sipil di Maluku Utara dan Papua
Yati Andriyani, Koordinator KontraS (Foto: Dok. KontraS)Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) selama dua bulan terakhir telah melakukan pema…
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) selama dua bulan terakhir telah melakukan pemantauan dan pendampingan terhadap dua kasus penyiksaan yang terjadi di wilayah timur Indonesia, yakni kasus penyiksaan terhadap La Gode di Taliabu, Maluku Utara, dan kasus penyiksaan terhadap Isak di Kimaam, Merauke. Keduanya mengalami penyiksaan hingga tewas yang diduga dilakukan oleh anggota TNI AD, termasuk juga adanya keterlibatan dari anggota Polri. Untuk kasus penyiksaan terhadap La Gode, 2 bulan setelah kasus ini, keluarga korban yang didampingi oleh KontraS dan LBH Maromoi telah melakukan pelaporan ke Danpom Ternate dan Po lda Maluku Utara. Sebagai tindak lanjut, diketahui bahwa penyidik Polda Maluku Utara sedikitnya telah melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi dari masyarakat dan telah melakukan proses otopsi terhadap jenazah korban pada 14 Desember 2017. Danpom Ternate XVI/I telah melakukan pemeriksaan terhadap 14 orang anggota Pos Satgas, 1 orang anggota kepolisian dan 12 saksi dari masyarakat. Dari 14 anggota Pos Satgas yang telah dimintai keterangan saat ini ada 10 anggota yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dan 10 anggota tersebut telah ditahan di Ambon. Namun demikian, kami menyayangkan sampai saat ini Penyidik belum memberikan penjelasan secara terbuka siapa saja 10 Tersangka tersebut, tindak pidana apa yang ditetapkan terhadap para tersangka. Di mana tempat penahanan terhadap mereka? apakah penahanan benar â" benar dilakukan terhadap para tersangka?Penetapan tersangka dan penahanannya para tersangka sebaiknya disampaikan kepada masyarakat secara terbuka mengingat kasus ini mendapat b anyak sorotan publik. Hal ini juga penting untuk memastikan proses hukum dan penerapan hukum atas kasus ini berjalan sesuai aturan yang berlaku, mencegah terjadinya upaya-upaya menutupi fakta dan tidak memberikan perlindungan bagi siapapun yang terlibat dalam kasus ini.Sementara itu, KontraS juga telah melakukan investigasi terhadap kasus penyiksaan yang menyebabkan kematian salah satu warga Kimaam, Papua, bernama Isak yang terjadi pada November 2017. Diketahui bahwa Isak tewas di tangan tiga orang anggota Yonif 755/Yalet karena diduga mabuk. Proses perkembangan perkara atas pengusutan kasus kematian Isak kini masih diselidiki oleh POM AD Merauke. Namun dari investigasi dan pemantauan kami, sampai dengan saat ini belum ada satupun terduga pelaku yang ditetapkan menjadi tersangka. Di samping itu, masih berdasarkan informasi yang kami miliki, diketahui masih terdapat kekeliruan yang dilakukan saat proses pengumpulan bukti atas kasus tersebut, seperti kekeliruan dalam menemukan fakta penyebab disiksanya Isak. Pihak TNI AD juga telah memberikan uang kerohiman kepada keluarga korban dengan alasan untuk membantu biaya prosesi pemakaman. Sementara itu, pihak kepolisian lepas tangan dalam penanganan kasus ini. Padahal dalam peristiwa yang dialami oleh Isak, diketahui ada pembiaran yang dilakukan oleh pihak kepolisian yang membuat Isak akhirnya tewas dalam tahanan Polsek sel Kimaam. Berdasarkan temuan-temuan di atas, KontraS telah menemukan fakta tentang pola â" pola yang serupa dari dua kasus tersebut, yakni: Pertama, kasus yang menimpa La Gode maupun Isak memiliki pola yang sama yaitu bagaimana aparat menggunakan praktik-praktik penyiksaan yang berujung pada kematian dalam menangani sebuah perkara kriminal;Kedua, keberadaan pos TNI di wilayah-wilayah tertentu, termasuk di wilayah timur Indonesia yang seringkali melakukan fungsi kerja di luar wewenang dan tanggung jawabnya. Dari kasus La Gode dan Isak, terbukti bahwa fungsi penanganan proses hukum justru diambil ol eh anggota TNI sementara aparat kepolisian lepas tangan. Ketiga, masih dilakukannya pemberian uang kerohiman terhadap keluarga korban dengan motivasi penghentian proses hukum. Pola seperti ini selain melawan hukum juga memberi peluang berulangnya kasus-kasus serupa di kemudian hari. Keempat, adanya upaya-upaya penundaan proses hukum yang tidak semestinya (undue delay) dalam proses penyelidikan kasus-kasus yang melibatkan aparat TNI maupun kepolisian, seperti penundaan penetapan tersangka atau ketidakjelasan penetapan dan penahanan tersangka, meski saksi-saksi telah diperiksa dan bukti-bukti telah didapatkan. Untuk itu, guna mencegah dan memastikan peristiwa serupa tidak terulang kembali, KontraS mendesak agar:Presiden RI untuk memerintah Panglima TNI untuk mengkaji dan melakukan evaluasi terhadap keberadaan dan fungsi dari pos-pos TNI yang berada di wilayah-wilayah konflik maupun terpencil di Indonesia untuk memastikan keberadaan Pos TNI sesuai dengan kewenangan TNI, tidak terjadi t umpang tindih tindakan dan kewenangan TNI dan Polri di lapangan, dan tidak memicu konflik dan kekerasan lebih jauh terhadap warga sipil yang tidak semestinya;POM AD Ternate maupun POM AD Merauke memastikan adanya profesionalitas dan keterbukaan dalam mengusut dua kasus tersebut, mulai dari mengumumkan secara terbuka penetapan tersangka dan penahanan tersangka kepada masyarakat sebagai upaya menjamin transparansi dan akuntabilitas proses hukum atas kasus tersebut. Kami juga mendesak pihak TNI AD tidak melakukan upaya-upaya untuk melindungi anggotanya yang terlibat dalam kematian kedua warga sipil tersebut;Kapolri harus melakukan proses hukum terhadap anggota Polri yang diduga terlibat maupun melakukan pembiaran terhadap kasus penyiksaan hingga tewas warga sipil akibat ketiadaan fungsi hukum yang seharusnya menjadi wewenang Polri;Panglima TNI memastikan bahwa penyelesaian terhadap kedua kasus penyiksaan hingga tewas di atas diselesaikan melalui mekanisme peradilan pidana umum, menging at peristiwa ini adalah kejahatan pidana umum terhadap masyarakat sipil. Mekanisme peradilan umum harus dikedepankan sebagai bentuk asas equality before the law. Jika peradilan militer atau peradilan koneksitas yang akan digunakan maka harus ada jaminan keterbukaan dalam proses persidangan peradilan militer dan peradilan koneksitas, tidak ada suasana intimidatif dan jaminan keamanan dan kenyamanan bagi keluarga korban dan saksi-saksi dalam memberikan keterangan;Berkaca pada kedua kasus di atas yang memiliki pola dan penanganan kasus yang sama, maka penting bagi pemerintah juga Panglima TNI untuk segera memprioritaskan kembali reformasi Peradilan Militer dengan segera merevisi UU Peradilan Militer No 31 Tahun 1997. Jakarta, 4 Januari 2018Badan Pekerja KontraSYati AndriyaniKoordinatorSumber: Google News | Warta 24 Ternate
Tidak ada komentar